Senin, 31/08/20
 
Oleh: Rosyita Hasan.
Natuna, I’m Coming

Martalena | LifeStyle
Senin, 24/02/2020 - 00:13:21 WIB
Foto penulis Rosyita Hasan
TERKAIT:
   
 
Terpaan angin memainkan bagian ujung jilbabku saat menuruni tangga pesawat di Lanud Raden Sadjad. Rasa syukur terlontar dalam kalimat Hamdalah yang terucap berlahan dari mulutku saat kaki menjejak tanah Natuna untuk pertama kali.

Single content advertisement top
Sedetik kemudian aku membaur mengikuti irama langkah penumpang lain menuju terminal kedatangan, sambil mengitari keadaan di sekeliling hingga tertumpu pada pasak bumi yang tertancap gagah menyerupai kerucut raksasa.

“Itu namanya Gunung Ranai,” ujar salah seorang penumpang yang beriringan denganku, seakan memberikan jawaban.

Tak mau kehilangan momen, aku berhenti sejenak menikmati pemandangan penuh pesona yang terpapar di hadapan mata. Jiwa petualang mulai berandai- andai, berkhayal dapat terbamg ke puncak Ranai saat itu juga, namun buyar ketika telepon selularku berdering.

“Hallo, Kak Syita, ya? Ini Ujang. Kakak sudah mendarat?” ujar suara dibalik speaker telepon genggamku dengan dialek khas Natuna menyapa seraya memperkenalkan diri.

“Ya, saya sudah sampai, sebentar lagi keluar dari terminal,” ujarku kembali bergegas menuju pintu kedatangan.

Ujang, kontak pertama yang direkomendasikan teman- teman di Batam adalah wartawan media lokal. Meski baru kenal, keramahannya seolah menggambarkan sifat umum masyarakat Natuna.

“Kita harus bergegas ke Rumah Sakit Umum Natuna, ada korban kekerasan,” demikian ucapan singkat Ujang mengawali perjalanan kami keluar dari area lapangan udara milik TNI AL itu sambil memacu sepeda motornya.

“Sudah ada kabar? Siapa nama korban? Masih di IGD kah?” berondong Ujang kepada sejumlah kuli tinta yang sudah bergerombol di depan pintu masuk RSUD Natuna.

Tidak ada jawaban pasti dari mereka, hanya gelengan kepala atau isyarat bahu naik turun sebagai tanda yang diberikan kepada Ujang. Untuk mencairkan suasana, aku mulai memperkenalkan diri kepada mereka.

“Dari media apa, kak?” tanya salah seorang jurnalis.

“LKBN Antara Kepulauan Riau,” ujarku sambil mengulas senyum kepadanya.

Tak lama Ujang memberi tanda agar bergeser dari tempat tersebut. Aku mengangguk, lalu kami pindah ke café seberang rumah sakit. Kebetulan sekali, sejak mendarat tadi aku memang merasa haus, namun untuk mengutarakan kepada Ujang, agak segan rasanya.

“Tak ada guna juga berlama- lama menanti informasi korban kekerasan tadi, lagi pula setelah berita di tulis, siapa yang berani mengirimkannya ke media masing- masing? Pelaku kekerasan diketahui oknum “berpangkat”, kalau besok terbit di koran, habislah yang nulis berita itu di pelasah,” celoteh Ujang panjang lebar membuka pembicaraan sambil terkekeh- kekeh.

Seharusnya, informasi korban kekerasan tadi menjadi berita perdana yang akan kukirim ke kantor pusat, meskipun resikonya terlalu besar. “Hilang malam”, begitu istilah yang dipakai rekan- rekan bila nekad mengeksposnya.

Berontak juga hati ini mendengarnya. Kalau sudah begitu, di mana kebebasan pers yang diagung- agungkan selama ini? Atau seberapa ampuh Undang- undang Pers Nomor 40 tahun 1999 menjamin keselamatan jurnalis dilapangan? Entahlah…

“Jangan difikirkan, Kak. Case closed!” kata Ujang sambari menempelkan jari telunjuk melintang diantara bibirnya.

“Okey, Case closed!” ujarku mengulangi perkataan Ujang sambil meniru menempelkan telunjuk di bibirku.

Beda sekali. Sangat berbeda bila dibandingkan dengan tempat tugasku sebelumnya, Siak Sri Indrapura, kota kecil yang tenang, dimana aku menghabiskan masa dua tahun setelah memutuskan turun gunung sebagai kuli tinta sekembali dari studi S2 di Universitas Kebangsaan Malaysia.

Dunia jurnalistik sudah menjadi nama keduaku, mungkin tak akan bisa lepas hingga akhir hayat. Semasa tinggal di Kajang, Selangor, Malaysia, disela- sela kegiatan kampus aku bahkan sempat- sempatnya menjadi koresponden luar negeri Majalah Kartini, khususnya Malaysia dan Singapura.

Mulai liputan pembebasan TKI dari tuntutan hukuman mati, pernikahan seorang nenek dengan pemuda lajang yang menggemparkan negeri jiran pada masa itu, hingga liputan tahapan demi tahapan pernikahan penyanyi tersohor Siti Nurhalizah, memberikan warna tersendiri setiap jengkal pengalamanku sebagai jurnalis pengembara.

Begitu juga dengan Siak, yang memberikan pengalaman besar kepadaku, tidak hanya sebagai pewarta, namun berkesempatan turut ambil bagian dalam pelestarian lingkungan dan penghijauan. Apalagi ketika dipercaya menjalankan program “ANTARA Menanam 2011”, sebagai program penghijaun Perum Lembaga Kantor Berita Negara Antara tempatku berkerja.

Kala itu atas perintah kantor, aku turut ambil bagian memediasi LKBN Antara Biro Riau dengan Pemerintah Kabupaten Siak agar terselenggaranya penanaman 10 ribu bibit pohon Trembesi di sepanjang jalan lintas Buatan – Siak sepanjang 25 km, sebagai tempat pelaksanaan acara puncak program ANTARA Menanam 2011 yang dihadiri Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Gubernur Riau Rusli Zainal Serta Bupati Siak Arwin AS sebagai tuan rumah.

“Ayo diminum kopinya, sudah dingin kelihatannya,” sentak ujang membuyarkan lamunanku.

Aku jadi tersipu, lalu kugapai gelas kedua itu setelah sebelumnya menghabiskan segelas es sirup untuk melepas dahaga.

Obrolan berlanjut hangat membicarakan seputar kondisi Natuna. Sangkin asyiknya, aku tak menghiraukan nada SMS masuk yang terdengar dari ponsel. Kubaca juga akhirnya, rata- rata berasal dari kawan- kawan Batam dan Siak, semuanya menanyakan keadaanku.

“Saya sudah sampai dengan selamat. Sekarang lagi kumpul dengan teman-teman Natuna. Mereka menjamu saya dengan baik,” begitu pesan singkat yang kukirim untuk menjawab kekhawatiran mereka terhadapku.

“Sebaiknya istirahat saja dulu, besok kita ke kantor bupati. Ayo, saya antar ke tempat kos,” ucap Ujang sambil beranjak menuju kasir. Setelah semua beres, lalu kami hengkang dari café itu.

Ketika siang beranjak petang, usai istirahat berebah badan beberapa saat, spontan muncul rasa ingin mencium aroma khas laut. Seperti tengah mengidam saat hamil muda, rasa itu semakin menggebu untuk ditunaikan. Kupaksakan juga mencari tahu cara untuk menuju tepian meski rasa letih masih tersisa, namun sampai juga akhirnya di Pantai Sengiap.

Kutapakkan kaki ini di atas tebaran pasir putih pantai. Saat kuangkat, terlihat cetakan kakiku menjejak. Sempat kunikmati beberapa saat, sebelum ombak mengikis dan seolah membawanya ke tengah laut menembus samudera luas. Aku tersenyum sendiri melihatnya, lalu berulang kali kulakukan hal serupa, berprilaku seperti anak kecil yang baru dapat mainan anyar. Hilang semua gundah. Bebas! Sebebas hatiku yang ingin menancapkan harapan baru di pulau ini.

Sejenak kemudian kesunyian pantai membisikkan nyanyian pasir diringi nada riak gelombang. Tak salah bila pantai ini disebut dengan Pantai Sengiap dengan pasir berbisiknya yang terasa membuai sukma. Kuresapi setiap tarikan nafas beraroma fantastis, aroma laut yang kuidamkan tadi kini kunikmati dalam kesendirian yang menyatu pada setiap mili saraf tubuhku. Memberikan kekuatan baru, membuatku terbebas dari segala tekanan jiwa, merdeka dalam arti sebenarnya.

Masih seperti mimpi. Aku tak mengira bila suratan takdir membawa diri ini hingga ke negeri lintas Laut Cina Selatan nun jauh di Utara Indonesia. Teringat saat menatap laut lepas, ketika pandangan tertuju pada ombak yang berkejaran menggapai bibir pantai, lalu meninggalkan buih. Semuanya membuatku terlena, begitu indah hingga tak terwakilkan oleh kata- kata untuk ditorehkan diatas lembaran diary.

Sesaat, bulir- bulir hangat tanpa disadari menggelinding dari kedua mata membentuk jalur aliran sungai kecil membelah pipi, dan akhirnya menetes dari samping dagu membasahi jilbab. Hanya itu yang mungkin sanggup mengekspresikan perasaanku sebagai ungkapan kekaguman terhadap ciptaan Ilahi.

“Allahu Akbar,” lirihku dengan bibir bergetar. Selama ini, dalam setiap doa aku selalu meminta agar memperoleh pekerjaan yang mampu memenuhi hasrat berpetualang di alam bebas. Meski harus bertungkus lumus menjalankan pekerjaan, namun tetap merasa seperti tengah liburan. Ternyata Allah kabulkan apa yang kupinta, dengan mengirimku ke pulau surga ciptaannya. Natuna kini aku menjadi bagianmu. Natuna, I’m coming.

(Bersambung)
.




Berita Lainnya :
 
  • Halal Bihalal Polresta Pekanbaru, 2 Personil Terima Tiket Umroh dari Kapolda Riau
  • Indosat Ooredoo Hutchison Catat Lonjakan Trafik Data Sebesar 17% Sepanjang Hari Raya Idulfitri
  • Menjelajah Dunia Migas di Dumai Expo 2024: Edukasi dan Kontribusi untuk Masa Depan
  • Hari Kartini, PHR Junjung Tinggi Kesetaraan dalam Berkontribusi Bagi Negeri
  • Rangkaian HUT ke-7 Tahun, SMSI Riau Gelar Workshop ''Publisher Rights'' Bersama Ketua Dewan Pers
  • Camat Mandau Dorong Pembentukan DPW IKA Plus Bengkalis, Freddy Antoni Terpilih Sebagai Ketua
  • Rumah Sakit Alihkan Pasien Belum Aktif UHC ke Umum, Diskes Pekanbaru Ancam Putus Kerjasama
  • Pemkab Bengkalis Terus Pacu Percepatan Pembangunan Jembatan Bengkalis-Bukit Batu
  • Bupati Kasmarni Harap Kepala Sekolah Fokus dan Optimalkan Kinerja Demi Kemajuan Pendidikan
  •  
     
     
     
     
    Copyright © 2014-2016
    PT. Surya Cahaya Indonesia,
    All Rights Reserved