Senin, 31/08/20
 
Perlukah Malu Bila tak Tahu?

mu | Religi
Senin, 24/11/2014 - 00:50:09 WIB
ilustrasi
TERKAIT:
   
 
Menjadi suatu aib bagi seorang intelektual ketika ia ditanya dalam suatu pembahasan kemudian ia mengatakan, "Saya tidak tahu." Gengsi bercampur malu jika ada suatu pertanyaan yang tidak bisa ia selesaikan dengan baik. Akhirnya, ia paksakan jua untuk menjawabnya kendati uraiannya tidak berkaitan dengan pertanyaan. Tak jarang, mubalig atau cendekiawan seperti ini justru menjadi pionir penyesat umat.


Salah seorang murid Imam Malik bin Anas, al-Haitsam bin Jumail, pernah menyaksikan kejujuran gurunya. Al- Haitsam mengisahkan, tatkala ia bersama gurunya Imam Malik. "Ia (Imam Malik) ditanya mengenai 48 masalah, lalu menjawab, "La Adri (Aku tidak tahu) pada 32 masalah," kisah sang murid.

Akibat keluguan Imam Malik, si penanya merasa kesal. "Apa yang harus aku katakan kepada kaumku setelah kembali," protesnya. Imam Malik hanya menjawab, "Katakan saja, Malik bin Anas berkata, ‘Aku tidak tahu.’"

Terbayangkah, seorang imam besar mengaku tidak tahu ketika ditanya suatu persoalan? Kurang apa Imam Malik yang lintang-pukang dengan berbagai disiplin ilmu. Semua kajian fi kih dan hadis dilahapnya. Tak ada ketika itu yang lebih alim dari seorang fi gur Imam Malik. Tapi, ia sadar, manusia punya keterbatasan. Hanya Allah SWT saja yang Maha Mengetahui segala sesuatu.

Imam Ibnu Shalah dalam kitab Adab al-Fatawa menjelaskan, orang yang bertanya dalam kisah tersebut merupakan thalib (penuntut ilmu) yang datang dari luar Kota Madinah. Orang tersebut mela kukan perjalanan selama dua bulan sehingga bisa bertemu dengan Imam Malik.

Tetapi, Imam Malik hanya memberikan jawaban terhadap 16 masalah. Hal ini sangat wajar karena Imam Kota Madinah itu tidak pernah melakukan perjalanan selain hanya ke Kota Makkah. Itu pun untuk keperluan haji dan umrah. Seseorang yang tidak banyak melakukan perjalanan ke wilayah lain tentu akan merasa sulit untuk menganalogikan suatu masalah yang terjadi di luar daerahnya dengan persoalan yang ada di negeri asalnya.

Terlepas dari latar belakang itu, al- Hafizh Jalal al-Din al-Suyuthi menulis risalah pendek yang menarik di dalam kitab al-Hawi al-Fatawa tentang kejujuran intelektual ulama salaf. Ia menemukan riwayat-riwayat yang sahih dari para saha bat dan tabiin yang merasa tidak gengsi untuk berkata, "Aku tidak tahu." Bahkan, ada sebuah riwayat yang bersumber dari perkataan Abdullah bin Mas‘ud RA, "Perkataan ‘aku tidak tahu’ adalah setengah dari ilmu".

Adapun maksud dari ungkapan ini ada lah ketika seseorang mengaku tidak tahu maka sikapnya mengindikasikan keju juran secara ilmiah dan usaha terus-mene rus untuk mencari jawabannya.

Sikap tersebut memang banyak di temu kan di kalangan Nabi SAW, sebagaimana diceritakan oleh Abdur Rahman bin Abu Laila seorang Tabi’in senior. Ia berkata, "Aku bertemu dengan 120 sahabat Anshar. Ketika salah seorang mereka ditanyai mengenai suatu persoalan, maka yang ditanya mengalihkan kepada sahabat yang lain. Begitu juga sahabat yang kedua mengalihkan kepada sahabat yang lain, sehingga kembali lagi kepada sahabat yang pertama."

Bahkan, amir al-mu’minin Umar bin al- Khattab setiap kali ditanyai menge nai suatu persoalan, maka ia selalu ber mu syawarah dan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan sahabat-sahabat Badr (Sahabat yang pernah mengikuti perang Badar).

Tak jarang seseorang menentang sesuatu yang sebenarnya belum dipahaminya dengan baik. Ini tidak hanya terjadi pada manusia biasa saja. Bahkan, orang sekaliber Nabi Musa AS ini pernah menentang prilaku Nabi Khidhr karena belum memahami hakikat dari kejadian yang dilihatnya. Inilah yang dimaksudkan Imam Abu al-Ghazali bahwa seseorang akan menentang sesuatu belum diketahuinya dengan baik.

Berdasarkan kenyataan tersebut, Imam Malik berpesan kepada orang yang menjadi mufti atau konsultan keagamaan agar berhati-hati. "Hendaklah seorang mufti berpikir ulang sebelum menjawab suatu persoalan. Apakah jawabannya menyebabkan dirinya terjebak ke dalam neraka atau mengantarkannya masuk surga," pesannya. Ini dikarenakan kesa lah an dalam berfatwa menjadi salah satu penyebab seorang mufti digiring masuk Neraka.

Dengan demikian, seorang ustaz atau dai sebenarnya tak perlu merasa malu mengakui ketidaktahuannya, hanya dikarena kan malu di hadapan jamaahnya. Tetapi hendaklah malu kepada Allah Yang Maha Mengetahui isi hati makhluk-Nya.(oleh: Hanan Putra)


sumber : republika.co.id






Berita Lainnya :
 
  • Pemprov Riau Gelar Upacara Peringatan Hari Otonomi Daerah ke-28
  • 5.274 JCH Riau Mulai Diberangkatkan 12 Mei 2024
  • Kapolda Riau adakan Halal Bihalal bersama PD IV KBPP POLRI dan IKAL Propinsi Riau
  • Lantik Pengurus PWI Kuansing, Raja Isyam : Jaga Nama Baik Organisasi dan Selalu Kritik
  • Lolos Semifinal Piala Asia U-23 2024, Indonesia Cetak Sejarah
  • Halal Bihalal Polresta Pekanbaru, 2 Personil Terima Tiket Umroh dari Kapolda Riau
  • Indosat Ooredoo Hutchison Catat Lonjakan Trafik Data Sebesar 17% Sepanjang Hari Raya Idulfitri
  • Menjelajah Dunia Migas di Dumai Expo 2024: Edukasi dan Kontribusi untuk Masa Depan
  • Hari Kartini, PHR Junjung Tinggi Kesetaraan dalam Berkontribusi Bagi Negeri
  •  
     
     
     
     
    Copyright © 2014-2016
    PT. Surya Cahaya Indonesia,
    All Rights Reserved